Menanti Reformasi Perjuangan Mahasiswa
Menjadi mahasiswa merupakan kebangaan tersendiri bagi kebanyakan kita. Orang-orang beranggapan bahwa mahasiswa merupakan generasi pembaharu, agen perubahan yang akan mendorong masyarakatnya menuju arah yang lebih baik. Memang benar adanya jika kita berbicara dalam konteks ketika mahasiswa menjadi salah satu pilar utama pendobrak singgasana kekuasaan orde baru yang telah menggurita.
Kita bisa meminjam ucapan salah satu pemimpin bangsa ini ketika berpidato dalam memperingati hari sumpah pemuda, sebagaimana dikutip dalam biografinya yang ditulis oleh Cindy Adam, “ Beri aku satu pemuda, niscaya akan kuguncang dunia ini”. Dari situ dapat kita ketahui betapa besar dan kuatnya peran pemuda , dalam hal ini mahasiswa, bagi seorang tokoh proklamator bangsa ini. Sukarno tidak membutuhkan pakar politik yang handal, para juru bicara berkualitas, yang umumnya pandai bermain-main kata, atau ahli-ahli strategi lainnya. Yang beliau butuhkan hanya satu, yaitu pemuda!
Jika dibawakan pada masa sekarang, apa yang bisa dan telah dilakukan oleh pemuda saat ini? Dua belas tahun pasca reformasi, pemuda sudah tidak lagi terdengar gaungnya, seolah-olah mati. Atau benar-benar telah mati.
Jika dibawakan pada masa sekarang, apa yang bisa dan telah dilakukan oleh pemuda saat ini? Dua belas tahun pasca reformasi, pemuda sudah tidak lagi terdengar gaungnya, seolah-olah mati. Atau benar-benar telah mati.
Di Padang sendiri, bisa kita rasakan bagaimana pergerakan mahasiswa sudah semakin kehilangan ruhnya. Memang pasca gempa 30 September 2009 lalu semua perkumpulan, organisasi, dan badan eksekutif mahasiswa bergabung bersama meminta relokasi dan transparasi dana gempa. Semua tampak kompak, seia-sekata memperjuangkan hak rakyat yang belum jelas statusnya. Kini kita telah berada di penghujung tahun 2010. Rehabilitasi bengunan yang roboh belum tampak hasilnya dan Pasar Raya, yang dahulu menjadi isu primadona bagi banyak kalangan, masih berdiri sesak, sempit dan reyot seperti sediakala.Tampaknya apa yang dilakukan mahasiswa waktu itu sama sekali tidak mempengaruhi kondisi yang mereka perjuangkan, apalagi kebijakan sang penguasa.
Lantas apakah aksi itu merupakan wujud ketidakpuasan mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah yang tidak prorakyat atau hanya sekedar niat memperlihatkan eksistensi dengan berpura-pura menyuarakan kesulitan masyarakat kecil yang memprihatinkan. Jika alasan kedua yang sebenarnya tercetus dalam hati para mahasiswa sunggguh telah menjadi pengkhianatan intelektual yang benar-benar akan membinasakan negeri ini. Tapi tentunya hal itu tidak mungkin, karena sejatinya mahasiswa adalah orang-orang yang memperjuangkan penderitaan masyarakat, setidaknya itulah yang selalu mereka kumandangkan.
Mahasiswa sepertinya membutuhkan sebuah momentum yang mampu membangkitkan jiwa idealis mereka. Butuh pemicu untuk meledak, butuh bensin untuk mengobarkan api dan membutuhkan palu agar bisa berjalan. Apakah memang sekerdil itukah?
Mahasiswa tidak hanya mengkritisi kebijakan yang tak patut, tapi juga bertindak sebagai pengontrol dan pengawal kekuasaan. Sebagai penabuh bedug yang akan memberitahu dan mengingatkan pada hal-hal yang masih belum pada tempatnya. Sebagai ganto, atau genta, yang harus sedia menjaga janji-janji yang telah terucap dan disetujui bersama agar tidak lekas menguap dari ingatan masyarakat kita yang memang sangat singkat ini.
Seyogyangnya kita tidak butuh tindakan agresif mahasiswa yang berorasi bagai parlemen jalanan. Unjuk rasa dengan menggiring massa ke instansi terkait sebagaimana yang popular beberapa tahun ini sudah tidak efektif lagi. Penguasa sudah tidak begitu merespons cara-cara konvensional ini, hanya bagai angin lalu saja. Lebih-lebih unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa kian hari terasa makin anarkis. Sebagaimana unjuk rasa yang terjadi pada peringatan 100 hari pemerintahan SBY-Boediono baru-baru ini, bisa kita lihat hampir di setiap kota di Indonesia demo penentangan ini berakhir ricuh bahkan merenggut nyawa. Apakah hal ini berhasil membuahkan kesepakatan tertulis yang menguntungkan masyarakat? Tampaknya masih sangat jauh.
Jika saja mahasiswa mau berpikir ulang dan merubah cara penyampaian aspirasi mereka dengan format yang lebih akademis, tentu kericuhan, pengrusakan dan penangkapan itu bisa dihindari. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa semua ini tidak terlepas dari budaya masyarakat kita yang masih menjagokan komunikasi lisan dan tarik urat leher. Sebagai kalangan terdidik, mahasiswa tentu paham bahwa tak hanya turun kejalan dengan berkoar-koar bisa menyampaikan aspirasi. Melalui tulisan atau forum diskusipun aspirasi bisa tersalurkan, bahkan dengan format yang lebih elegan.
Melalui forum diskusi yang mempertemukan antara masyarakat dengan pemerintah akan membantu pemecahan masalah dan menemukan jalan keluar dari konflik yang ada. Begitu juga dengan menjambangi rubrik-rubrik di media massa. Menorehkan buah pikirannya, berbagi pandangan dan menyampaikan pendapat. Melalui tulisan apa yang kita suarakan bisa dibaca oleh banyak orang, akan lebih dipahami dan syukur-syukur bisa merubah cara pandang pembaca.
Sudah saatnya mahasiswa merobah pola gerakan mereka. Jangan terlalu lama hanyut dengan euphoria kekompakan masa lalu yang dirasa berhasil dengan memenuhi ruas jalan dan menduduki gedung-gedung yang menjadi simbol kekuasaan tertinggi di negeri ini. Karena jika tidak, apa yang telah diucapkan bung Karno mengenai kehebatan dari pemuda hanya akan menjadi olok-olok belaka.
Komentar
Posting Komentar