Kebenaran, seberapa mampu meyakinkan orang lain
Orang, logika, dan penganut paham rasionalisme mengatakan bahwa manusia adalah makhluk pencari kebenaran, makhluk yang ingin serba tahu. Karena itu dari kecil manusia suka bertanya, ingin melihat dan mendengar sesuatu yang baru. Selanjutnya manusia belajar, baik disekolah maupun di tengah-tengah masyarakat. Para ilmuwan melakukan penelitian untuk mengetahui sesuatu yang masih diragukan. Orang mengikuti diskusi dan ceramah umum juga untuk mendapatkan pengetahuan, yang intinya tentu untuk mencari kebenaran.
Namun apa yang dikatakan kebenaran itu sendiri ternyata tidak memiliki standar yang baku, tidak ada kebenaran yang mutlak. Kebenaran sangat tergantung pada konteks dimana kebenaran itu di munculkan, siapa yang mengemukakan dan kepentingan apa yang ada dibalik kebenaran tersebut. Karena itu banyak lahir teori-teori yang membahas mengenai esensi dari kebenaran itu sendiri.
Seperti yang di ungkapkan oleh para penganut teori kebenaran pragmatis, bahwa kebenaran itu adalah apa yang memiliki manfaat. Jika ada suatu hal yang tidak mendatangkan keuntungan maka hal tersebut tidak akan diterima sebagai sebuah kebenaran. Lain halnya dengan teori kebenaran korespondensi berdasarkan pada hal yang materil. Kebenaran atau keadaan benar itu berupa kesesuaian [correspondence] antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan dengan apa yang sungguh-sungguh terjadi. Ada lagi teori kebenaran konsistensi, yang mengatakan bahwa kebenaran itu harus sesuai dengan premis-premis yang telah ada sebelumnya dan dianggap benar. Jika tidak sesuai dan tidak konsisten, maka dianggap tidak benar. Serta masih banyak teori kebenaran lainnya yang dikemukakan oleh para ahli yang dalam perumusannya tentu tergantung kepentingan apa yang melatarbelakangi lahirnya teori-teori tersebut.
Berdasarkan uraian diatas, jelaslah bahwa standar dari kebenaran itu sendiri masih saja diperdebatkan. Jika dua orang sedang memperdebatkan suatu hal dengan menggunakan perspektif yang berbeda antara masing-masingnya sudah tentu kebenaran yang dicari tak kunjung didapat. Lalu, bagaimana cara kita menyampaikan suatu kebenaran agar bisa diterima dan diamini?
Disinilah peran keahlian berkomunikasi menjadi kunci dalam permasalahan seperti ini. Untuk membuat orang lain mau menerima apa yang kita sampaikan, apa yang kita anggap sebagai sesuatu yang benar maka kita harus bisa meyakinkannya terlebih dahulu. Baik itu dari segi isi maupun dari segi cara penyampaiannya.
Mungkin contoh sederhana bisa kita temukan pada masyarakat tradisionil di minangkabau. Sebagaimana kita ketahui peranan mamak dalam keseharian masyarakat minagkabau sangatlah besar. Perempuan di minangkabau cenderung mengiyakan dan melaksanakan hal-hal yang disampaikan oleh sang mamak. Pengaminan atas apa yang disampaikan oleh sang mamak bukan hanya karena aspek formalitas yang mengharuskan para perempuan minangkabau mematuhi setiap kata-kata mamak, tetapi karena sesungguhnya profil mamak yang berwibawa di minangkabau memang memiliki potensi yang kuat untuk meyakinkan dunsanaknya dalam hal tutur-kata dan petuahnya.
Jika di kehidupan modern saat ini, kerja seorang public relations sangat mencerminkan bagaimana kemampuan meyakinkan akan melahirkan sesuatu yang dianggap benar. Misalnya dalam kegiatan promosi atas sebuah produk kecantikan yang gencar dilakukan melalui media massa. Seorang public relations akan berusaha meyakinkan konsumennya untuk menggunakan produk mereka agar bisa tampak cantik seperti para model yang membintangi iklan tersebut. Wanita, sebagai konsumen utama yang termakan bujukan iklan kecantikan tersebut akan menganggap bahwa apa yang di promosikan itu adalah benar dan mereka akan mengikuti saran-saran yang dikatakan karena pikiran mereka telah dikonstruksi untuk menerima kebenaran yang terus-menerus diyakinkan dalam iklan tersebut.
Begitu juga dengan keseharian kita. Apabila kita hendak menasehatkan teman, saudara bahkan orang tua tentang suatu kebenaran yang kita ketahui maka dalam proses penyampaiannya haruslah mampu meyakinkan lawan bicara agar apa yang berusaha kita jelaskan dapat diterima dan tidak sia-sia.
Begitulah kira-kira bentuk kebenaran jika kita melihat dari kemampuan meyakinkan orang lain. Tanpa berpihak pada aliran kebenaran manapun, segalanya akan diterima dan dikatakan benar jika benar-benar mampu meyakinkan orang lain atas apa yang kita sampaikan.
Komentar
Posting Komentar