Inilah Aku, Teman


Banyak orang salah menginterpretasikan tentang diriku. Tidak masalah, itu wajar karena memang bentuk pesan yang disampaikan, pola hubungan dan sudut pandang pun hampir selalu berbeda. Tapi yang paling membuatku sedikit kecewa adalah interpretasi yang sangat tidak berkesesuaian dengan apa yang menjadi prinsipku, setidaknya selama lebih-kurang7 tahun ini.
 “Apa?? Tidak punya pacar? Gak pernah pacaran? Sekalipun??? Hhha, GAK MUNGKIN!”, Ini satu.
Tapi ada juga yang sangat bertolak belakang dari kutipan di atas. Ini yang kedua.
“ Ciee,cieee.. kamu suka sama dia kan?? Gak papa,, aku senang kok. Ntar biar aku bilangin ya..,,kalo kamu titip salam. Aku kenal loh sama dia…, dia orangnya baik kok.”.
Satu lagi,yang ketiga.
“ Sia cowok kini ko??”
“ Dak ado doh,, still jomblo.” Dengan bangganya. Tapi entah kenapa respons yang diberikan malah bikin aku kaget plus bingung.
“ Ndee, ibo nyo lai. Bia lah di tolongan mancarian..,, Nan ma? Anak Poli, anak teknik, yang ikhwan, yang aktivis, atlet, bla,bla…”.
Oh tidak! Tuhanku…
Maka karena beragamnya persepsi yang diberikan atas penilaian terhadap diriku, yang kesemuanya gak ada yang mendekati kebenaran, dan juga karena ketidakberdayaanku dalam mengkomunikasikan prinsipku secara lisan, yang disebabkan karena mereka menganggapku pembual kelas kakap (oh tidak,,parah banget!T_T) maka aku mencoba untuk menjelaskannya melalui sepenggal untaian kata yang aku tulis pada 16 September lalu. Kalau gak salah waktu itu aku lagi di kampuang Piliang Sitingkah Tangah, Lubuak Basuang, Kabupaten Agam.
Dan,, inilah dia….

Aku Menunggumu, Selamanya

Satu kali lagi senja mninggalkanku
Dan hariku masih sama,sendiri
Saat mata terlelap dan mentari menyapa hangat
Satu hari lagi penantianku dimulai
Menunggumu..
Dengan segala kehormatanku

Dimanakah kau kini,
Jiwa yang kan menemaniku
Menapaki tanah yang berdebu
Menyusuri jalan kerikil-kerikil tajam
Dan merambah jurang oak yang berduri

Mengapa takdir belum juga diputuskan?
Apakah sang Kuasa tak jua berkehendak?
Kapan?

Jika pujangga selalu memimpikan bidadarinya
Diiringi syair yang mendayu
Aku hanya berharap kau kan segera menemuiku,
Imamku
***

Gimana? Dah dapat makna pesannya?
Aku harap bisa banget dimengerti.
Atau kalau masih juga tetap menganggapku membual dan bersikukuh pada penilaian awal yang ditetapkan, aku bantu deh menginterpretasikannya sesuai dengan kepentingan dan pengakuan yang sangat ingin aku terima.
Puisi itu bagai cerminan komitmen yang teguh aku pertahankan dan perjuangkan. Tujuh tahun lalu, tepatnya ketika aku kelas 2 SMP tanpa pernah terencanakan dia lahir dari percakapan asal kami yang spontan.
“ …Memangnya kalian gimana?”
“ Kami?” aku dan sohibku saling pandang.
“Suami kami adalah cinta pertama dan pacar pertama kami..” dengan bangga dan kompak.
“ Kalian itu salah. Yang benar itu, yang bakal menjadi suami itu adalah cinta dan pacar terakhir kita.” Kami bingung gak bisa mencerna cepat kata-katanya. “ Puasin-puasin dulu pacaran,, nah habis itu baru pacar terakhir yang kesekian puluh itulah yang bakal dijadikan suami…”
Gubrak!! Tega amat…
Waktu percakapan itu berlangsung,, tidak pernah terpikirkan bahwa hal itu yang bakal menjadi prinsipku hidupku dalam aspek perasaan. Tapi tanpa aku sadari, dialog singkat itu perlahan mendoktrin diriku untuk memilih jalan seperti yang aku dan sohibku ucapkan dulu. Walau faktanya, beberapa bulan kemudian partner proklamasiku itu akhirnya mengkhianatiku dengan jadian dengan teman sekelasnya.
“ Yah…, ja gak virgin in love lagi ta’…”, begitulah dulu kami menamai status hati kami.
Gak papa, gak masalah. Sebenarnya waktu itu aku juga ingin punya pacar seperti teman-teman kebanyakan. Tapi entah kenapa, ternyata aku masih dilindungi..hingga kini.
***
Sekarang aku benar-benar udah mantap dengan prinsip ini. Aku percaya bahwa setiap kita, makhluk hidup dicipakan berpasang-pasangan. Aku juga percaya bahwa setiap kita akan diberikan teman “hidup” yang sepadan dengan apa yang kita miliki. Jika aku sering kelayapan, maka teman ku pasti playboy kelas kakap, atau jika aku gak mau menggali ilmu, temanku pastilah teramat dungu. Tapi tentunya aku gak mau memasukkan hal itu ke dalam pilihanku.
Terakhir yang terpenting sekali, aku sangat percaya kalau semuanya emang sudah ditakdirkan. Jadi, walaupun kemaren aku udah bilang sama Udaku untuk mencarikan adik ipar untuknya, kira-kira 5-6 tahun lagi, tapi jika aku belum ditakdirkan untuk bertemu dengan “Imamku” di usiaku yang udah seperempat abad itu, aku mengerti dan terima.
So, inilah aku.


Komentar

Postingan Populer